Keumala, Ibukota Kesultanan Aceh yang Terlupakan
Keumala, Ibukota Kesultanan Aceh yang Terlupakan– Persoalan Ibukota Kerajaan Aceh telah lama menimbulkan masalah yang cukup spesifik. Lazimnya ibukota disebut Aceh saja, atau Banda Aceh, jika perlu dibedakan antara negara secara keseluruhan dan Ibu Kota. Namun, setelah kedatangan dan peperangan dengan Belanda pada tahun 1874, Belanda berusaha memberi nama Ibukota Kerjaan Aceh dengan Istana Sultan (Keraton) atau Istana Kerajaan “Kutaradja” (benteng raja). Istilah Kraton adalah sebuah usaha kolonial Belanda yang mencocokkannya dengan istana kerajaan di Jawa. Oleh karena itu Belanda menggunakan “Kutaradja ” sebagai nama Ibu Kota Aceh. Namun pada 1963, nama itu secara resmi diubah kembali ke Banda Aceh.
Runtuhnya ibukota Kerajaan Aceh, Kutaradja (sekarang Banda Aceh), yang ditandai dengan berhasilnya Belanda merebut Masjid Raya Baiturrahman dalam ekspedisi keduanya. Penyerbuan kedua ini mendapatkan kemenangan hasil seperti yang diharapkan oleh penjajah Belanda, Setelah sebelumnya pada penyerbuan pertama mengalami kegagalan yang memalukan yang mengakibatkan terbunuhnya Jenderal J.H.R. Kohler pada 14 April 1873. Tepatnya di sebuah pohon besar yang kemudian dinamai Kohlerboom (pohon Kohler) – Pohon itu ditebang setelah Belanda berhasil menduduki Kutaradja. Masjid Raya yang dipertahankan mati-matian oleh Tuanku Hasyim Banta muda, jatuh pada tanggal 6 Januari 1874. Ekspedisi kolonial Belanda kedua dipimpin oleh Jenderal Van Swieten.
Setelah jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman, tak lama setelah itu, Sultan Mahmud Syah meninggal pada tanggal 26 Januari 1874 terkena Wabah kolera yang yang sangat parah pada saat itu. Belanda mengalami kekalahan yang sangat besar, sebanyak 1.400 prajurit tewas, sebelum Van Swieten meninggalkan Aceh, yang sebagian besar disebabkan oleh Wabah kolera.
Situasi darurat ini memaksa pemegang otoritas dalam pemerintah Aceh untuk mengambil kebijakan dengan memindahkan ibukota kerajaan ke pedalaman Aceh pada akhir 1879, yang berada jauh di Hulu Sungai Pidie, yang disebut Keumala. Kekosongan pasca meninggalnya, Sultan Mahmud Syah, Raja Kerjaan Aceh digantikan oleh Sultan muda berikutnya yang bernama Tuanku Muhammad Daud, yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Muhammad Daud Syah. Ia diangkat menjadi Sultan Aceh di masjid Indrapuri (Aceh besar), dan merupakan Sultan terakhir Aceh (ke-35).
Tuanku Hasyim dan Sultan Muda Tuanku Muhammad Daud Syah resmi berpusat di Keumala. Raja Aceh di keumala di dampingi oleh para pemimpin perjuangan terhadap perlawanan Belanda, Diantaranya Teuku Paya, Putra Nyak Hasan, imam Lueng bata, dan Teungku Syekh Saman dari Tiro atau teungku Tiro (Teungku Chik di Tiro). Sebagai hasil dari semangat Hasyim dan kemampuannya untuk mengatur segalanya, Keumala secara bertahap menjelma menjadi sebagai ibu kota kedua Kerajaan Aceh. Dan, dari sebuah desa kecil, Keumala berubah menjadi pusat pertanian dan perdagangan yang sangat besar.
Pada 1878, Teungku Tiro (1836-1891) menyusun sebuah pasukan gerilya khusus dan mendirikan markas di Keumala. Bahkan, Teungku Tiro menerima penghargaan khusus dari Sultan Muhammad Daud dengan kewenangan yang diberikan melalui Cap Sikureueng (Cap Sembilan) sebagai pemimpin keagamaan tertinggi di kerajaan Aceh. Kegunaan Cap Sikureueng menegaskan posisi Teungku Tiro, dan berguna untuk melindunginya dari iri hati kaum uleebalang yang kehilangan pengaruhnya. Di antara kaum ulama, ada ulama yang memiliki pengikut setempat yang kuat, tetapi tidak ada yang dapat menandingi Teungku Tiro dalam perannya sebagai ahli teori dan ahli strategi perang suci.
Cap Sikureueng
Cap Sikureueng disebut, karena ada 8 lingkaran yang berisi nama delapan penguasa sebelum Sultan dan nama dan gelar Sultan yang sekarang terdaftar di tengah lingkaran. Stempel kerajaan ini digunakan untuk mencap dokumen kerajaan. Sebagai ibukota kerajaan Aceh, Keumala menjadi saksi dalam adegan diplomatik terakhir Kerajaan Aceh. Pada bulan Juni 1888, Tuanku Hasyim mengirim undangan khusus kepada anggota diplomat yang tersisa di Penang (sekarang di Malaysia), untuk memberikan masukan kepada para pemimpin Aceh. Di antara mereka adalah Syekh Kassim dan Nyak abas. yang merupakan orang terakhir berhasil mencapai Keumala pada September 1888.
Satu-satunya hasil penting dari misi ini adalah munculnya semangat Pihak Kerjaan Aceh yang kembali mempertimbangkan untuk mendapatkan bantuan dari pihak luar. Kassim dan abas yang sebelumnya menghubungi Sultan Abubakar dari Johor, dan menyampaikan tawaran Keumala dari Abubakar untuk menyampaikan pandangannya dan menjadi perantara. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah (Turki) menempatkan seorang pria bernama Sayheed Muhammad Al-Sagoff di Singapura, yang bertanggung jawab untuk mengelola kepentingan keuangan Sultan Turki.
Namun, bagi masyarakat Aceh kontak ini memiliki arti khusus. Karena Al-Sagoff pada saat itu dianggap sebagai wakil resmi Turki. Selain itu, populasi Muslim di Singapura sangat bersukacita, karena kunjungan Ertogroul, sebuah kapal perang Turki menuju ke Jepang untuk menyampaikan tanda mata kepada Kaisai Jepang. Kehadiran Ertogroul memiliki semangat baru untuk Keumala. Orang Aceh berpikir bahwa kapal Ertogroul adalah bukti dari Turki “Unjuk Kekuatan ” di Asia.
Al-Sagoff menanggapi keinginan kerajaan Aceh dengan mengirimkan utusan pribadinya, Sultan Ismail dari Selangor ke Keumala. Setelah beberapa penundaan, Ismail tinggal selama lima hari pada bulan Juli 1892 untuk mengadakan pembicaraan dengan Istana Aceh. Abubakar juga ikut ambil bagian dalam misi tersebut. Keduanya menyatakan bahwa mereka semata-mata bertujuan untuk mewujudkan perdamaian antara Belanda dan Aceh. Misi ini mengalami buntu dan gagal. Selain itu, Kesultanan Utsmaniyah berada di bawah kondisi “kritis “, keuangannya berada pada titik Nadir dan ketidakstabilan politik sangat bergejolak di Istanbul (ibukota Kesultanan Utsmaniyah), Menjelang keruntuhannya pada abad ke-20. Turki tidak akan lagi dapat membantu Aceh, seperti di masa lalu, dengan mengirimkan armada pejuang dan peralatan perang seperti Aceh berada di Portugis di Malaka.
Aceh belum berkecil hati dalam menghadapi kenyataan. Tidak dapat memperoleh berita yang diharapkan dari Ismail dan Abubakar, pihak Aceh kemudian mengirimkan surat bantuan yang ditujukan langsung ke Istanbul. Nahas, Surat ini jatuh ke tangan kolonial Belanda, bukan ke penerima yang dituju, Turki. Ismail dari Selangor adalah utusan asing terakhir yang mengunjungi Istana Aceh.
Keumala terletak tidak jauh dari tempat Belanda mendirikan markas, Lameulo (sekarang kota Bakti). Geografi Keumala dikelilingi oleh hutan, perbukitan dan memiliki sungai yang mampu memberikan kebutuhan dasar pertanian untuk penanaman, memenuhi kriteria sebagai “perisai ” untuk membendung laju invasi pasukan kolonial Belanda-meskipun tidak untuk selamanya.
Perang Aceh berlanjut. Tidak ada gencatan senjata, apalagi perdamaian, setelah kunjungan utusan asing dari Selangor, Ismail. Perang Aceh bukanlah perang yang mudah, Perang Aceh adal perang yang paling merugikan bagi pihak Belanda dari semua perang di Asia Tenggara, yang menelan 14.000 tentara kolonial Belanda dan setidaknya 100.000 orang Aceh dalam periode 40 tahun. Jumlah korban dari masing-masing pihak adalah yang sangat banyak pada saat itu, bila dibandingkan dengan populasi penduduk Aceh dan jumlah total tentara kolonial Belanda pada masa itu.
Sebagai ibukota kedua kerajaan Aceh pada akhir 1879, Keumala tetap menjadi “saksi bisu” di akhir salah satu kekuatan utama di Asia Tenggara di masa lalu. Tidak ada sisa peninggalan Kerajaan Aceh yang dapat ditelusuri di Keumala. Kecuali bukti catatan sastra masa lalu. Perang Aceh-Belanda tidak memberikan “peluang” bagi pemerintah Aceh untuk membangun infrastruktur yang layak bagi ibu kota, Keumala. Namun, tanpa gagasan memindahkan ibukota kerajaan Aceh ke Keumala, Kerajaan telah lama menderita keruntuhan. Keumala kemudian berperan dalam keberadaan kerajaan Aceh, meskipun tidak untuk waktu yang lama.
dari Berbagai Sumber.