Ada Apa Dengan Qanun Bendera dan Lambang Aceh Saat Ini???
Ada Apa Dengan Qanun Bendera dan Lambang Aceh Saat Ini???–Beberapa hari ini, aceh dihebohkan dengan isu-isu yang sangat menghebohkan publik. Ramainya pembicaran media sosial yang beredar di kalangan masyarakat Aceh, mengenai beredarnya kabar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia secara sepihak telah membatalkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, menimbulkan polemik di kalangan warga. Seperti diketahui, beberapa hari lalu selembar surat digital (hasil scaning) beredar di dunia maya. Surat Nomor: 188.34/2723/SC tertanggal 26 Juli 2016 yang ditandatangani langsung Mendagri Tjahjo Kumolo dan ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia. Surat itu berisi tentang Pembatalan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Lantas masyarakat bertanya ada apa dengan qanun bendera dan lambang aceh saat ini???
Pertanyaan ini mungkin patut dipertanyakan oleh masyarakat aceh, karena hingga saat ini Qanun tersebut masih menjadi polemik baik itu di Aceh sendiri maupun di pusat. Pembatalan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut menjadi perhatian publik saat ini. Karena surat pembatalan tersebut terdapat beberapa keanehan diantaranya yaitu: pertama surat itu dikeluarkan pada tahun 2016 dan baru beredar sekitar beberapa hari lalu, Lantas, surat itu kemudian heboh sehingga DPRA pun angkat bicara, yang kedua surat ditujukan kepada Presiden, tembusannya juga kepada Presiden, yang ketiga , antara lampiran surat keputusan dengan surat pengantar juga berbeda tanggal dan bulan, yang keempat mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk. Muharruddin dalam pernyataannya menjelaskan bahwa selama beliau menjabat ketua DPRA beliau tidak tau sama sekali mengenai adanya Surat Nomor: 188.34/2723/SC tertanggal 26 Juli 2016 pembatalan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang pada saat itu Gubernur Aceh dijabat oleh dr Zaini Abdullah.
Lantas masyarakat kembali bertanya ada apa dengan Bendera dan Lambang Aceh saat ini???
Mengenai polemik tersebut, DPR Aceh menggelar rapat membahas surat Mendagri terkait Pembatalan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2019 yang dihadiri Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah bersama para kepala SKPA.
Seperti diketahui bersama bahwa, pembentukan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh tersebut memiliki landasan hukum. Sejarah Pembentukan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh ini berdasarkan Pasca kesepakatan perdamaian antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia. Kesepakatan ini dikenal dengan nama Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (MOU) di Helsinky. Dari kesepakatan itu lahirnya suatu Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Salah satu pasal dalam UUPA ini menjelaskan mengenai kewenangan Pemerintah Aceh agar membuat Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Pasal 246 dan 247 UUPA memberikan wewenang bagi Pemerintah Aceh agar membuat Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.
Adapun isi Pasal 246 ayat (1) menyatakan bahwa “Bendera Merah Putih adalah bendera Nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 246 ayat (2) dijelaskan bahwa “Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.”
Selanjutnya dalam Pasal 246 ayat (3) juga menyatakan “Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh.”
Begitu juga dalam Pasal 246 ayat (4) UUPA tersbebut menjelaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.”
Pasal 247 ayat (1) menyatakan “Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan.”
Pasal 247 ayat (2) menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai lambang sebagai simbol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Qanun Aceh.”
Atas dasar pasal-pasal tersebut Pemerintah Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (selanjutnya disingkat DPRA) berhak membuat Qanun tentang Bendera dan Lambang Aceh. Tahun 2013 dibentuklah Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh (selanjutnya disingkat Qanun Bendera dan Lambang Aceh), seperti yang diamanahkan oleh UUPA tersebut.
Bab II dan Bab III yang mengatur tentang Bendera dan Lambang Aceh, dalam Pasal 4 dan Pasal 17 menyatakan sebagai berikut:
Dalam Pasal 4 ayat (1) dalam qanun tersebut menjelaskan bahwa “Bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua pertiga) dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam.”
Sedangkan Pasal 17 ayat (1) menyatakan “Lambang Aceh berbentuk gambar yang terdiri dari: a. Singa; b. bintang lima; c. bulan; d. perisai; e. rencong; f. buraq; g. rangkaian bunga; h. daun padi; i. semboyan Hudep Beu Sare Mate Beu Sajan dalam tulisan Jawi, j. huruf ta dalam tulisan arab; dan k. jangkar.”
Namun setelah Qanun ini dibentuk, timbul permasalahan-permasalahan dalam ketentuan-ketentuan pasal di dalam Qanun ini. Hal ini dijelaskan oleh Kementrian Dalam Negeri, yaitu Qanun Bendera dan Lambang Aceh sangat bertentangan dengan konstitusi dan juga bertentang dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya pada Pasal 249 dan Pasal 250.
Adapun isi Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah antara lain sebagai berikut:
Dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah tersebut bahwa “desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi atau perkumpulan atau lembaga atau gerakan separatis dalam negara Indonesia.”
Sedangkan isi Pasal 250 dan 249 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan dalam Pasal 250 ayat (1) menyatakan “Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.”
Artinya ketentuan Pasal 250 melarang keras bahwa suatu qanun yang dibuat oleh pihak Pemerintah Aceh bertentangan dengan hukum nasional, karena sesuai dengan hierarki perundangan-undangan, qanun berada di bawah undang-undang .Secara otomatis Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Secara asas hukum menyatakan peraturan yang lebih tinggi dapat mengalahkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferior) dan ada pertentangan asas hukum lainnya yang menyatakan peraturan yang khusus dapat mengesampingkan peraturan yang umum (lex specialis derogat legi generalis).
Namun, dilemanya pihak Gubernur dan DPRA telah menyetujui secara bersama Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Dalam perjalanan qanun tersebut hingga saat ini sudah ada proses evaluasi akan tetapi hasilnya belum jelas, apakah qanun tersebut dibatalkan atau disetujui oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan-ketentuan pasal tersebut di atas lah yang menjadi awal mula terjadinya polemik mengenai terbentuknya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Namun walaupun demikian, kita harapkan agar polemik ini agar dapat mendapat solusi yang terbaik yang akan bermanfaat bagi rakyat Aceh kedepannya. Jangan sampai polemik ini terus berkepanjangan tidak ada titik temu dan tidak ada pemecahan permasalahnnya.